Masyayikh PonPes Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes Almaghfurlah KH Masruri Abdul Mughni KH Sholahuddin Masruri KH Izzudin Masruri KH Nidhomu...

Masyayikh PonPes Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes

  • Almaghfurlah KH Masruri Abdul Mughni
  • KH Sholahuddin Masruri
  • KH Izzudin Masruri
  • KH Nidhomudin Masruri
  • KH Itmamudin Masruri
  • KH Mukhlas Hasyim MA
  • KH Dr. A. Najib Afandi MA
  • KH Nasyar Alamuddin
  • KH Maftuh Aziz
  • KH Dr. A. Shiddiq
  • Almaghfurlah KH Abdul Qadir Qosim
  • Almaghfurlah KH Muhaimin Sanusi
  • Almaghfurlah KH Ubaidillah
Masyayikh PonPes Salaf APIK Kaliwungu Kendal
  • KH Sholahuddin Humaidullah
  • K. M. Ghufron Humaidullah
  • KH A. Fadlullah Turmudzi
  • KH Ruwaifi' al Mawardi
  • Gus Asyiq Nur Muhammad
  • KH Dimyati Rois
  • KH Fauzi Shodaqoh
  • Ust. M.Ulul Maghfuri
  • Ust. Syamsul Ma'arif
  • Ust. A. Nur Fauzi
  • Ust. Syamsul Arifin
  • Ust. Ka'bil Akhbar Basyaiban
  • Ust. Syifauddin
  • Ust. Rozikin
  • Ust. Zainul Faqih
  • Ust. Khoirudin
  • Ust. Ulin Nuha
  • Ust. Sirojul Mu'in
  • Ust. Fauzan Sururi (Alm)
  • Ust. Hanif
  • Ust. Asif Falahudin
Ponpes Al Anwar Sarang
  • Almaghfurlah Syaikhina KH Maimoen Zubair
  • KH Najih Maimoen
  • KH Said Abdurrohim

1002 Bait Cinta ? Oleh : M. Nur Khotim Siapa yang tak kenal Alfiyah. Alfiyah seakan dipuja-puja semua kalangan kaum sarungan. Semua san...

1002 Bait Cinta ?

Oleh : M. Nur Khotim

Siapa yang tak kenal Alfiyah. Alfiyah seakan dipuja-puja semua kalangan kaum sarungan. Semua santri pasti ingin mendapatkannya hanya santri yang tangguh dan sabar yang bisa menaklukkannya. Alfiyah Ibnu Malik syair ilmu nahwu bahasa Arab dengan 1002 bait berbahar Rojaz itu. Syair paling fenomenal yang penuh godaan bagi yang menghafalnya. Seperti apa yang dialami ketiga santri salaf ini Izul, Azam dan Billy mereka rela mengorbankan apapun termasuk cinta demi menaklukkan syair penuh cinta itu.
“Bocah-bocah, ayo lalaran!!!” dengan penuh semangat Bily memegang gembes yang hampir sama dengan perawakannya itu mengajak kawan-kawannya untuk mendendangkan syair ilmu nahwu 1002 bait Alfiyah Ibnu Malik karangannya Syekh Jamaluddin Muhammad Ibnu Malik al Andalusi, “Syair penuh cinta katanya”
“Dung … tak…dung … dung … tak …” Bily mulai mengayunkan tangannya menggendangkan gembes berwarna biru semu itu. “Qoola Muhammadun huwa ibnu maliki # ahmadu robillaha khoiro maliki …” Azam mulai menyanyikannya yang kemudian diikuti serempak oleh kawan-kawannya. Lantunan syair berbahasa arab itu mengalun indah menghiasi bangunan kuno hampir satu abad itu.
Seisi ruangan persegi empat itu dengan khidmat melagu-lagukan syair kecuali Izul yang dari tadi cengengas cengenges gak jelas, yang membuat Azam dan Bily saling pandang terheran akan ahwal sohibnya yang aneh, bahkan sampai lalaran rampungpun masih tetap seperti itu, hingga mereka mendekatinya.
“Zul, kenapa kamu dari tadi lalaran senyum-senyum sendiri gak jelas. Piye tho?” tanya Azam kepo.
“Ah …gak … aku senyum karo koe qo …!” Hahahhaa, menggoda Azam yang berkulit putih seputih kapas.
“Huek … ogah banget aku disenyumin koe, mending disenyumin mba’ Mus (si Mbok yang berjualan di samping pondok)
“Awas tuh Zam, Izul mungkin suka sama kamu, cinta itu majnun loh gag pandang jenis kelamin, ahhaha … ahaa” gasak Bily dengan ngakak supernya. Dengan perutnya yang besar (maklumlah di sebuah pesantren salaf tak ada yang namanya cewe, hingga dibuatlah guyonan suka sesama teman sendiri).
Akhirnya, Izul berkisah panjang kali lebar tentang pertemuan dengan gadis yang memikat hatinya, yaitu santriwati Gus Jakfar (putra Abah Yai) yang tinggal di Kediri yang sedang silaturrahmi ke Abah. Karena Izul seorang abdi dalem Abah, jadi ia mengenal gadis itu, ketika ia ikut membantu Umi di dapur bersama santriwatinya, Izul diam-diam berkenalan dengan gadis itu.
“Namanya siapa Mba?” tanya Izul memberanikan diri dengan suara lirih.
“Fatma, Kang” tersipu malu dengan sedikit senyum dengan lesung pipitnya.
Mendengar bisikan mereka, Umi pun melirik agak sedikit tersenyum, Izul pun seketika diam tak berani berbisik lagi, walau sebenarnya ia ingin bertanya lebih banyak lagi.
Kini hari-harinya seminggu ia lewati dengan senang untuk menjalani pengabdiannya di ndalem, berubah drastis dari yang suka memegang nadhom mungil miliknya kini beralih memegang secarik kertas dan pen tutul untuk memuisikan bidadari yang baru turun di kehidupannya. Sedang asyik menulis puisi tiba-tiba ada yang mengagetkannya.
“Zul …!! (seseorang menepuk pundak Izul dengan keras), koe dipanggil Umi di ndalem”
“Sing bener ah …?” tak percaya dengan tetap menggoreskan penanya ke kertas putih itu.
“Lah sih … gak percaya … dipanggul Umi koe, moso dipanggil mba Mus (si Mbok yang berjualan di samping pondok)
“Ya iya koe lah yang dipanggil Mba Mus … hihihii …”
“Enak wa …” tak terima dan mengepalkan tangannya bersiap meninju Izul.
“Lah koe anake Mba Mus ko …” sambil berlari menghindari amukan kawannya dan pergi menuju ndalem.
Tak dinyono siang begini Izul dipanggil Umu. “Ada apa ya, tumben Umi manggil dadakan begini?” gumam dalam kalbunya. Tapi ia juga senang karena kemungkinan bisa bertemu Fatma, bidadari berkerudung impiannya. Tapi tak disangka ini hari terakhir bertemu dengannya. Karena Umi memanggil dirinya untuk membantu mengangkatkan barang-barang milik Gus Jakfar dan istrinya untuk kembali ke Kediri tentu saja bersama Fatma santrinya. Hanya sunggingan manis yang merekah di bibir Fatma tanda salam pisah untuk Izul.
Pertemuan terakhirnya membuat Izul terus melamuni gadis manis itu di malam-malam yang temaran membayangkan senyuman bibir merah kepundung yang sangat mudah ia ingat.
“Kenapa sih kamu pergi begitu singakt, aku belum banyak mengenal kamu, sekali kau tersenyum padaku aku langsung hafal gurat senyummu. Tapi ngafalin Alfiyah ko susah banget ya …”
Izul terus berbicara sendiri seolah tak ada pendengar setia di kamar asrama pondoknya yang terlihat sepi hanya suara detak jarum jam yang merajai malam itu. Terlihat Bily yang sedang tidur tapi tidur tidur mata ayam yang dari tadi mendengarkan ocehan kawannya itu yang tiba-tiba berkomentar seperti facebook.
“Wis Zul, jangan dipikir, jangan bicara sendiri, sudah malam … ojo rebut … aku pengen tidur” Bily ngomong gramang-gremeng tak karuan.
“Aih … kamu belum tidur?” dengan nada terkejut dan malu celotehnya itu didengar Bily.
“Ya during lah … sing mau sira ribut bae jeh …” karena kesal logat Cirebonnya keluar.
“Mending ngafal Alfiyah, bentar lagi libur, udah dapat berapa?” dengan gaya sok menasehati padahal jarang menghafal.
“Iya … iya …” sambil mematikan lampu Izul lalu membanting tubuhnya tidur, tetapi matanya tetap saja kedap-kedip bertafakur tentang ucapan sohibnya itu.
“Bener juga ya, sudah beberapa hari aku gak mikirin Alfiyah, bagaimana hafalanku? Bagaimana masa depanku? Tentang gadis itu lupakan sajalah, yang penting masa depanku dulu. Aku yakin Alfiyah itu masa depanku, aku yakin Alfiyah itu barokah …” hati Izul terus berbicara dengan mata yang terpejang oleh kamar yang gelap.
***
Izul merujuk hari-harinya seperti biasa, ngabdi, ngaji dan tentunya menghafal nadhom kecil mungil itu. Melihat Izul yang cepat berubah, kawannya takjub bertanya-tanya.
“Zul, kemarin kau galau, sekarang kok biasa ajah, apa sudah gak kangen sama Fatma?” tukas Azam menuding-nuding Izul bak keamanan pondok.
“Ya, kangen sih … tapi biarkan, buka siapa-siapa” jawabnya datar.
“Lho … kok iso?? Katanya kamu suka” garuk-garuk kepala bingung.
“Ya, aku emang suka sama Fatma, tapi cintaku pada Alfiyah lebih besar Zam (menghela nafas). Aku ingat tujuan aku mondok, demi masa depanku dunia akhirat. Mending mikirin Alfiyah syair 1002 bait itu, daripada mikirin orang yang sudah pergi. Aku yakin kok, barokah Alfiyah ada segalanya termasuk masa depan dan cinta” berkata dengan pandangan ke langit seakan menerawang apa yang ia harap.
Ketika bulan Maulid (Robiul Awal), suatu bulan yang sangat dipuja oleh santri salaf karena bulan lahir Nabi Agung Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam juga bulan saatnya liburan dan pulang. Waktu untuk temu kangen dengan keluarga, kawan, juga pujaan hati bagi yang memiliki. Begitu halnya Azam dan Bily mereka tak sabar pulang untuk bersua dengan orang yang mereka sayang, tapi tidak dengan Izul yang seorang ndalem Kyai.
Di rumah, Bily khusuk dengan HP klasiknya tapi cukup canggih untuk sekedar membuka facebook dan update status.
“Kau itu begitu manja, sehari aku tak disampingmu, tak duduk bersamamu, kau coba melupakanku, bagitu sulit perjuanganku untukmu, tapi aku mencoba mencintainya dengan tulis, oh … Alfiyahku ..”
Bily merangkai kata demi kata dari akun FBnya tentang kecintaannya pada nadhom 1002 bait itu. Ketika Rani kekasih Bily membaca status itu dengan wajah takjub. Mengira Bily menduakannya, seketika itu pula ia mengirim SMS pada Bily.
“Bil, siapa Alfiyah? Kekasih barumu? Aku di sini menunggumu, tapi kenapa kau menduakanku? Apa dia lebih cantik? Apa kamu yakin dia itu lebih setia dariku? Kamu gak ngaca, kamu itu gendut, bulet, item. KITA PUTUS …”
Sebuah pesan singkat dari Rani yang menjurus ke tujuan. Bily pun hanya terpaku membaca pesan dari kekasihnya yang tak tahu siapa Alfiyah yang hanya sebuah syair ilmu nahwu 1002 bait itu. Sejenak ia teringat petuah Ustadzny.
“Ati-ati … ngafal Alfiyah itu banyak godaannya” lantas melintas dalam pikirannya. “Apa ini salah satu godaan itu tuk meraih 1002 bait itu?” ia kembali teringat maqolah Ustadznya lagi. “Santri kalo gak hafal Alfiyah hidupnya gak tenang, karena tak sembarang santri yang bisa menghafal syair 1002 bait itu”
Maka Bily memutuskan untuk focus dengan Alfiyah. Ia bersyukur pacarnya memutuskannya, karena ia yakin manfaat menghafal Alfiyah.
***
Sementara di rumahnya, Azam asyik menghubungi kekasih hati. Ketika sedang menelpon sambil cengar-cengir, Ibunya lewat.
“Zam, telponan terus … sudah makan belum?” tanya Ibunya dengan perhatian.
“Belum Mi, nanti saja …” jawabnya dengan masih menggenggam HP di tangan.
“Sudah sana makan dulu, kamu masih ngrowot kan?” (sehari-hari hanya makan nasi jagung)
“Masih kok Mi, kenapa?”
“Zam … Zam … tirakat terus pacaran jalan, ya eman-eman tirakatnya to. Apalagi kamu masih ngafalin Alfiyah kan? Kalau Alfiyah sudah hafal apapun bisa kamu dapat, insya Allah”
Azam hanya terpaku mendengar nasehat ibunya, kemudian ngloyor pergi makan. Di meja makan ia hanya membolak balik sendok memikirkan perkataan ibunya. Wajahnya yang terpantul dalam sendok itu semakin dirinya larut berkata dalam benaknya.
“Benar juga sih kata Umi, tirakat tapi pacaran, Alfiyah pun masih panjang, tapi bagaimana dengan Nisa?”
Akhirnya setelah beberapa hari membolak-balikkan hati dan pikirannya, Azam pun bertemu kekasihnya untuk berbicara.
“Ya Habibati … kau memang baik, anggun juga cantik, cantik luar dalam. Tapi hari ini tolong jangan hubungi aku lagi. Kamu tau kan aku lagi menghafal Alfiyah?” Azam memulai pembicaraan dengan sedikit berjauhan dengan wanita yang bukan mahromnya itu.
“Iya, aku tahu. Tapi kenapa?” dengan nada terkejut dan mata berkaca-kaca.
“Alfiyah kan sulit didapat Sayang, seperti aku sulit melepasmu” kata Bily sedikit merayu.
“Ya aku kan bisa nyemangatin kamu …” air mata mulai menetes dari mata itu.
“Iya aku ngerti, aku gak butuh semangat dari kamu, tapi aku butuh doamu” Azam berusaha meyakinkan Nisa.
“Ya sudah aku ngerti kok, aku kan selalu mendoakanmu dan selalu menunggumu” tersenyum sambil menghapus air matanya.
“Maaf ya Sayang, Alfiyah dulu baru kamu” Azam mencoba kuat dan tersenyum, mencoba merelakan kekasihnya hanya untuk meraih syair penuh cinta.
***
Hari-hari berganti bulan dan tahun. Mereka bertiga begitu semangat menghafal nadhom 1002 bait itu bagai penakluk Andalusia berabad-abad lalu hingga mereka lulus. Setelah mereka lulus dari pondok mereka berjumpa kembali dengan sesuatu yang tampak beda dari diri mereka. Mereka yang dulu direndahkan dipandang sebelah mata kini mereka diagungkan. Izul dari menjadi seorang abdi dalem kyai kini menjadi seorang kyai, ia juga pada akhirnya mendapatkan cinta Fatma, karena dijodohkan Gus Jakfar. Bily dulu yang suka diberdirikan karena tak bisa apa-apa kini duduk di kursi tertinggi menjadi menteri dan beristi Setra Solehah. Sedangkan Azam seorang santri yang suka tirakat kini punya martabat menjadi pengusaha sukses dan juga menikah dengan Rani yang setias menunggunya.
Mereka bertiga sukses karena rela mengorbankan apapun demi meraih 1002 bait syiar penuh cinta “BAROKAH ALFIYAH” katanya, dan juga karena keyakinan mereka pada Sang Pemberi Hidup dan Cinta. Idzil fata hasba i'tiqodihi rofi’ # wakullu man lam ya’ taqid lam yan tafi' (siapa yang yakin akan mendapat kemanfaatan) sebuah bait yang selalu mereka celupkan dalam hati. Dulu tak tahu mau jadi apa? Sekarang mendapat segala sesuatu yang terbaik dan juga CINTA YANG TERINDAH.

"Suatu malam yg lebih baik dari beramal seribu bulan lainnya,doa sangat mustajabah,,doa apapun bisa dikabulkan,termasuk pandemi Co...

"Suatu malam yg lebih baik dari beramal seribu bulan lainnya,doa sangat mustajabah,,doa apapun bisa dikabulkan,termasuk pandemi Covid-19 yang melanda negri."
Gegap gempita Ramadan biasanya hanya ramai pada permulaan ketika bulan suci itu datang,keramaian yang disambut banyak umat Islam,tapi ketika memasuki pertengahan Ramadan apalagi menjelang akhir semua itu mulai redup.

 Apalagi ditengah pandemi virus Corona saat ini, orang-orang banyak yang lebih memikirkan bagaimana caranya bisa mudik ke kampung halaman seperti Ramadan pada tahun-tahun sebelumnya.
Mereka terlalu berfikir secara rasional untuk bisa mudik dengan jalan nekat,padahal sudah ada larangan mudik. orang-orang lupa dengan jalan mendekat pada Tuhan dibulan yang suci ini agar bisa mendapatkan semua itu kembali.

Padahal dipertengahan hingga akhir Ramadan ada sebuah malam yang lebih istimewa dari malam biasanya, malam yang ditunggu-tunggu oleh semua umat Islam yaitu malam yang lebih mulia yang lebih baik dari malam seribu bulan,karena umat Islam meyakini membawa malam keistimewaan tiada tara,amalan akan digandakan dan lebih baik beramal dari satu malam dari pada beramal seribu bulan lainnya,doa sangat mustajabah,,doa apapun bisa dikabulkan,bahkan ini menjadi momentum yang sangat pas untuk berdoa di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia ini agar bisa cepat hilang dan sirna agar kita bisa menikmati hidup seperti sedia kala.

“ Inna anzalnaahu fii Lailatil Qadr, wamaa adraaka ma Lailtul Qadr, Lailatul Qadri khoirun min alfi syahr” (QS. 97: 1-3). “ Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al Quran ) di malam kemuliaan, tahukah kau apa itu malam kemuliaan? Malam kemuliaan lebih baik dari seribu bulan”. Sapaan atau firman Allah itu kemudian kita sebut sebagai alQuran. Malam dimana Quran itu turun ke bumi yang kecil ini, disebut Lailat al-Qadr atau malam Qadar, malam kemuliaan.
Tentu saja malam Lailatul Qadar adalah malam yang sangat istimewa dimana tuhan alam semesta menurunkan firmanNya pada manusia yang kecil ini.

Pendapat Ulama
Telah begitu banyak tulisan mengenai Lailatul Qadar. Ada sebagian ulama yang menentukan Lailatul Qadar sesuai hari pertama Bulan Ramadan.
Al Showi menjelaskan hal tersebut dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir Al-Jalalain yang ia tulis.

  • Jika awal Ramadan hari Ahad, maka Lailatul Qadar jatuh pada tanggal 29,
  • Jika Senin, maka malam yang lebih baik dari 1000 bulan itu akan tiba pada mula 10 hari terakhir,21. 
  • Bila selasa, malam turunya Al Qur’an itu akan datang pada tanggal 27.
  • Jika Rabu, maka tanggal 19.
  • Jika Kamis maka tanggal 25.
  • Jika Jum’at, maka tanggal 17. Terakhir, 
  • jikaSabtu maka tanggal 23. 

Sebagian ulama lain dalam kitab yang sama, Al-Showi menyebutkan bahwa jika mula Ramadan hari Jum’at, maka Lailatul Qadar akan tiba pada tanggal 21, sebagaimana hari Senin. Pun jika mulanya hari Rabu, maka sama seperti hari Ahad, yakni Lailatul Qadar akan datang pada tanggal 29.

Selain penjelasan pada hari pertamanya, Imam Ibnu Katsir dalam kitab Thabaqat al Syafi’iyyah menuliskan pendapat empat mujtahid mutlak mengenai malam penuh berkah itu.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa lailatul qadar bisa saja ditemukan di sepanjang tahun,tidak tertentu bulan Ramadan.

Imam Malik berpendapat bahwa ia berada di malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir Ramadan.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa paling diharapkan terjadinya lailatul qadar adalah malam ke-21 atau 23 Ramadan.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ia diharapkan terjadi pada malam 27 Ramadan.

Berbeda dengan pendapat diatas, Taqiyuddin As-Subuki (w 756 H), dalam Thabaqat al-Syafi’iyyah al Kubra Juz 10, juga mengungkapkan penelitiannya, bahwa lailatul qadar  harus dicari diseluruh hari bulan Ramadan, tidak tertentu pada 10 hari terakhir.
Imam Syamsuddin Al Ramli dalam Nihayatul Muhtaj mengingatkan, bahwa bagi siapapun yang menemukan malam lailatul qadar disunnahkan untuk merahasiakannya.

Perbedaan pendapat dikalangan ulama menunjukkan ketidakpastian kapan malam lailatul qadar itu tiba. Oleh karena itu, sebaiknya kita isi semua malam pada bulan Ramadan dengan mengingat Allah. Tidak hanya pada malam-malam tertentu saja. Hal ini sebagai usaha kita keluar dari perbedaan pendapat diatas.
Kapan tepatnya malam istimewa itu memang –wallahu a’lam- dirahasiakan. Tak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Sebagaimana wali Allah dirahasiakan, antara lain supaya kita berhati-hati memandang orang; agar kita menghormati atau setidaknya tidak meremehkan orang lain, sekalipun misalnya orang itu di mata kita kurang pantas dihormati. Malam Qadar hanya diberitahukan bahwa itu berada di bulan Ramadan. Orang cerdik yang akan mendapatkannya, dia akan mencari ke seluruh malam-malamRamadan. Mereka yang ingin mendapat pengampunan dengan ketekunan ibadah mereka di malam Qadar, pasti akan mendapatkan malam istimewa itu, bila mereka tekun beribadah pada setiap malam di bulan Ramadan.

 Berbahagialah mereka yang menjumpai malam itu dalam syukur dan ketekunan ibadah,yang berarti mereka mendapatkan pengampunan Allah atas segala dosa mereka yang sudah-sudah. Karena dengan demikian mereka setelah itu akan memulai hidup baru dengan dada yang lapang dan langkah yang ringan tanpa terbebani belenggu-belenggu dosa. Dan dengan lantaran dihapusnya dosa dosa itu semuga Allah mengangkat dan menghilangkan Pandemi Virus Corona ini di dunia. Memandang ke depan penuh gairah dan kemantapan dengan taufiq-hidayah dan ridho Allah.